PILKADA WATCH DUKUNG EVALUASI KOMPREHENSIF PILKADA
Jakarta,ANEKAFAKTA.COM
Berbagai tanggapan muncul baik dari tokoh politik maupun pengamat di media nasional terkait pelaksanaan Pilkada. Ada yang menyarankan pilkada langsung ditinjau kembali . Sejumlah alasan dikemukakan, mulai dari untuk menghindari politik biaya tinggi, mencegah konflik horizontal di masyarakat, sampai dengan persoalan efektivitas penyelenggara pilkada.
Sementara kelompok yang tetap ingin mempertahankan sistem langsung dalam pemilihan kepala daerah juga tidak kurang memberikan argumentasi. Pilkada langsung lebih demokratis dan menjamin partiispasi publik dalam tahapan pemilihan sampai dengan setelah terpilih menjadi kepala daerah.
Yang menarik adalah, dalam catatan Pilkada Watch Lembaga Penelitian Indonesia (LIPI), tahun 2015 pernah melontarkan wacana Pilkada Asimetris.
Menurut Direktur Eksekutif Pilkada Watch *Wahyu Agung Permana*
diJakarta Kamis 5/12/2019, Berdasarkan hasil kajian para peneliti pada Pusat Penelitian Politik (Puslit P2P) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyarankan penggunaan format Pemilihan Umum Kepala Daerah Pemilukada) Asimetris sejak Januari 2015.
Peneliti pada Pusat Penelitian Politik LIPI Sri Nurhayati dalam seminar awal tahun 2015 mengatakan di antara pro dan kontra Pemilukada di provinsi atau pun kabupaten/kota Pusat Penelitian Politik LIPI memang memposisikan untuk mendukung pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung. Namun akibat kondisi setiap daerah dari segi kemampuan sumber daya manusia dan keuangan daerah tidak merata, sehingga mengakibatkan pelaksanaan dan hasil Pemilukada diliputi berbagai masalah. Dan pada kajian 2014, berdasarkan pada kajian sebelumnya, tim peneliti LIPI merekomendasikan model Pemilukada di kabupaten/kota dan provinsi yang tepat untuk Indonesia.
Asimetrisme yang diusulkan tim peneliti Pemilukada LIPI, menyangkut desain pemilihan kepala daerah secara langsung. Format ini didasarkan pada fakta kondisi daerah (de facto) yang dapat dilihat dari aspek sosial berupa kemampuan sumber daya manusia daerah yang tercermin dari Indeks Pembangunan Manusia (angka harapan hidup, angka melek huruf, pendidikan), ekonomi yang tercermin dari kemampuan keuangan daerah, dan memperhitungkan aspek budaya.
Berbicara pilkada asimetris bukanlah sesuatu yang tabu dilakukan di Indonesia. Faktanya beberapa daerah telah melakukannya sampai dengan hari ini, antara lain: Nangroe Aceh Darusssalam, DKI Jakarta, DIY, Papua yang masing-masing memiliki bentuk Pilkada sesuai dengan sejarah dan karakteristik masing-masing wilayah.
Bangsa Indonesia telah melaksanakan Pilkada Langsung sejak diberlakukannya UU No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Sejak Tahun 2015 dilaksanakan Pilkada Serentak untuk kali pertama dengan 269 daerah, 9 Provinsi, 36 Kota dan 224 Kabupaten. Pilkada serentak berikutnya thun 2017 terdiri dari 7 Provinsi, 18 Kota, dan 76 Kabupaten; Selanjutnya Pilkada Serentak Tahun 2018 dilaksanakan oleh 17 provinsi, 39 kota dan 115 kabupaten. Putaran terakhir Pilkada Serentak Tahun 2020 akan diikuti oleh 270 daerah, 9 Provinsi, 37 Kota, 224 Kabupaten;
Sejumlah isu terus bermunculan seiring dengan dilakukannya Pilkada Serentak di seluruh daerah. Isu tersebut antara lain: efisiensi anggaran, efektifitas penyelenggara pilkada, konflik horizontal di tengah masyarakat, netralitas birokrasi, kualitas calon kepala daerah, fungsi partai politik sebagai produsen calon pemimpin, kerawanan di media sosial, korupsi kepala daerah pasca pilkada langsung (300), perlunya system e voting, sampai isu menguatnya politik primordialisme dan politik identitas yang dapat merusak persatuan dan kesatuan bangsa.
Setelah berlangsung selama 4 kali berturut-turut dan sudah meliputi seluruh wilayah di Indonesia, sangat wajar dilakukannya sebuah evaluasi total pelaksanaan pilkada. Tujuannya adalah untuk menilai sejauh mana pilkada yang dilaksanakan telah sesuai dengan tujuan dan harapan ideal bangsa Indonesia. Pilkada bukan saja untuk sekedar memilih para calon pemimpin daerah, namun juga harus mampu mewujudkan kesejahteraan bagi warga masyarakat melalui pemimpin yang jujur, adil dan berkualitas.
Perlu sebuah penelitian yang komprehensif terhadap pelaksanaan pilkada disetiap daerah terkait dengan kondisi objektif daerah, aspek demografi, kualitas birokrasi, partisipasi warga disetiap pemilu/pilkada, kematangan partai politik, mutu dan integritas kepala daerah terpilih, rekam jejak kepala daerah pasca pilkada, perlu untuk dikaji keterkaitannya dengan proses pemilihan kepala daerah.
Setelah sekian lama melaksanakan Pilkada serentak maka dirasa perlu untuk membuat sebuah evaluasi yang komprehensif untuk menilai sejauh mana hasil yang sudah dicapai oleh sistem pilkada setempat di daerah masing-masing. Sebelum evaluasi juga tidak kalah penting melakukan penilaian terhadap parameter-parameter demokrasi di tingkat lokal. Tujuannya adalah untuk mengetahui sejauh mana kesiapan daerah dalam melaksanakan demokrasi di tingkat local serta bentu dan sistem pilkada seperti apa yang paling tepat dipergunakan.
Penilaian dilakukan secara objektif dan independen untuk mengetahui kebutuhan rill daerah tersebut terhadap sistem pilkada yang dibutuhkan. Penilaian dilakukan oleh Tim yang terdiri dari para pakar di bidangnya untuk melakukan pencarian, pengolahan, analisa dan menyimpulkan data dan fakta secara tepat. Sebelum riset perlu dilakukan kegiatan Focus Group Discussion untuk mengumpulkan, menyerap aspirasi dan masukan para stakeholders Pilkada sekaligus menentukan metode, dimensi dan variable-variabel terkait.
Pilkada watch sebagai sebuah lembaga pemantau Pilkada yang telah melakukan pendampingan sejak tahun 2015, sangat mendukung upaya evaluasi pelaksanaan pilkada secara total dan komprehensif. Tujuannya adalah untuk menilai sejauh mana pilkada yang telah dilaksanakan telah berhasil mewujudkan kesejahteraan masyarakat melalui pemilihan pimpinan daerah yang berkualitas, jujur dan demokratis. Setelah evaluasi dilaksanakan, maka bisa ditentukan model pilkada macam apa yang paling tepat untuk sebuah daerah sesuai dengan kondisi objektif masing-masing daerah. Jangan sampai atas nama demokrasi maka semua daerah harus disamaraktakan bentuk dan model pemilihannya. Selain tidak tepat namun juga akhirnya dapat menimbulkan inefisiensi anggaran serta politik biaya tinggi yang ujung-ujugnya menjadikan kepala daerahnya tersangka kasus korupsi.
Kita memahami adanya disparitas antara daerah baik dari aspek SDM, birokrasi sampai dengan ketersediaan infrastrktur. Semua itu jelas berpengaruh terhadap kualitas demokrasi di daerah tersebut dan akhirnya kepada proses pemilihan calon kepala daerah. Menganggap kondisi objektif dan lingkungan strategis setiap daerah sama menimbulkan persoalan baik dalam proses maupun hasil akhir penentuan kepala daerah. Hal ini menyimpulkan perlunya membuat pemetaan secara komprehensif untuk masing-masing daerah agar pola pilkada yang dipergunakan dapat memberikan hasil yang maksimal,demikian yang disampaikan oleh Direktur Eksekutif Pilkada Watch Wahyu Agung Permana
Red
Ket Foto:
Direktur Eksekutif Pilkada Watch *Wahyu Agung Permana*

Posting Komentar