Pengrusakan Rumah Singgah di Sukabumi Tuai Kecaman: Christina Peneliti Hukum Tegaskan Pentingnya Penegakan Proses Hukum dan HAM




Pengrusakan Rumah Singgah di Sukabumi Tuai Kecaman: Christina Peneliti Hukum Tegaskan Pentingnya Penegakan Proses Hukum dan HAM


ANEKAFAKTA.COM,Jakarta – Aksi penggerebekan dan perusakan sebuah rumah singgah di Desa Tangkil, Kecamatan Cidahu, Kabupaten Sukabumi, menyita perhatian publik dan memicu keprihatinan mendalam dari berbagai pihak. 

Peristiwa yang menyisakan luka bagi kehidupan beragama ini dinilai sebagai bentuk kegagalan dalam menjalankan prinsip negara hukum yang seharusnya melindungi setiap warga negara tanpa kecuali.

Christina Clarissa Intania, Peneliti Bidang Hukum di The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research, menegaskan bahwa tindakan main hakim sendiri, terlebih yang mengarah pada kekerasan dan pengrusakan properti, tidak dapat dibenarkan dengan alasan apapun. 

Dalam negara hukum, lanjutnya, segala bentuk ketidaksepakatan harus diselesaikan melalui jalur yang sah dan sesuai prosedur.

"Terlepas dari persoalan legalitas bangunan, tindakan pengrusakan secara paksa merupakan pelanggaran terhadap hak atas properti yang dilindungi hukum. Ini adalah cerminan kegagalan, baik dari masyarakat maupun aparat, dalam menyelesaikan persoalan secara beradab dan sesuai aturan yang berlaku," ujar Christina pada hari ini

Christina menekankan bahwa Indonesia yang berdiri di atas asas Bhinneka Tunggal Ika sudah memiliki payung hukum untuk merespons konflik bernuansa keagamaan. Salah satunya adalah Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006, yang mengatur penyelesaian sengketa terkait rumah ibadah.

"Aturan itu memang masih perlu terus dievaluasi, namun sudah jelas bahwa musyawarah di tingkat lokal adalah langkah awal yang harus ditempuh. Jika tidak membuahkan hasil, maka Pemerintah Daerah bersama Kementerian Agama wajib hadir untuk menjadi fasilitator penyelesaian damai," ungkapnya.

Jika mediasi gagal, maka penyelesaian melalui pengadilan adalah jalan konstitusional terakhir, bukan kekerasan. 

Christina juga menyoroti bahwa tidak ada satupun regulasi yang membenarkan tindakan represif, baik yang dilakukan oleh warga sipil, aparat keamanan, maupun militer.

Menurut Christina, ibadah dan kebebasan beragama adalah hak asasi manusia yang dijamin oleh konstitusi dan tidak dapat diganggu gugat. Penanganan kasus-kasus seperti ini membutuhkan pendekatan yang lebih manusiawi, sensitif, dan berbasis hak asasi manusia.

"Pelatihan soal pendekatan berbasis HAM sebenarnya sudah menjadi bagian dari materi di institusi Polri dan TNI. Maka sudah seharusnya nilai-nilai tersebut diterapkan dalam situasi nyata seperti ini," jelasnya.

Christina juga mendesak keterlibatan aktif dari pemerintah pusat, terutama Kementerian Agama, Kementerian Dalam Negeri, serta Komnas HAM, agar memberikan mandat dan dukungan konkret kepada jajarannya di daerah untuk menangani kasus ini secara adil dan menyeluruh.

"Kita tidak boleh membiarkan tindakan kekerasan menjadi norma baru. Negara tidak boleh kalah dari ketakutan dan tekanan kelompok tertentu. Keadilan harus ditegakkan," tegasnya.

Di akhir pernyataannya, Christina menyerukan peran aktif masyarakat dalam menjaga harmoni dan tidak terprovokasi untuk melakukan aksi sepihak.

"Kalau ada keberatan, gunakanlah jalur hukum dan mekanisme administratif. Jangan mengambil hukum di tangan sendiri. Kekerasan tidak pernah menjadi solusi yang sah," pesannya.

Ia juga mengingatkan bahwa warga yang merasa dirugikan secara fisik, psikologis, atau material akibat peristiwa tersebut dapat mengakses bantuan hukum melalui lembaga-lembaga pendamping yang tersedia. 



Caption Foto:

Christina Clarissa Intania, Peneliti Bidang Hukum TII tegaskan tindakan main hakim sendiri, terlebih kekerasan dan pengrusakan properti, tidak dapat dibenarkan harus diselesaikan melalui jalur yang sah dan sesuai prosedur.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama