KEMANA "RAIBNYA" PANCASILA DARI PP 57/2021?


KEMANA "RAIBNYA" PANCASILA DARI PP 57/2021?  
                                                    
Oleh: Dr.Usmar.SE.,MM
Ironi kembali terjadi. Disaat para elit Politik gemar berteriak *"Saya Pancasila"*, tapi disisi lain, mereka entah dengan sadar, setengah sadar atau tak sadar, justru mengeluarkan peraturan teramat penting di sektor Pendidikan, menghilangkan mata pelajaran PANCASILA.

Ini dapat kita lihat dan cermati, dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 57 Tahun 2021 tentang *Standar Nasional Pendidikan* yang di tanda tangani oleh Presiden Jokowi  pada 30 Maret 2021, dan di undangkan mulai berlaku pada 31 Maret 2021.

Dalam PP 57/2021 ini  di Bab 1 Ketentuan Umum di pasal 1 ayat  2 jelas mengatakan bahwa "Standar Nasional Pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem Pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia".

Ketika dalam batas dan konteks minimal pun Pancasila tidak disebutkan secara eksplisit dalam menetapkan kurikulum pelajaran seperti di cantumkan dalam Pasal 40 dalam PP No.57/2021, tentu ini memunculkan pertanyaan dan keheranan bagi kita, bagaimana bisa ketidak konsistenan apa yang di kampanyekan dan di ucapkan "saya Pancasila" tidak linear dengan tindakan dalam pembuatan aturan.  

*PENGHILANGAN TERSENGAJA* ?

Dari awal konsideran menimbang PP 57/2021 tidak memuat dan merujuk sama sekali UU No.12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, tapi hanya merujuk UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Padahal jelas kita ketahui bahwa dalam UU No.20 tahun 2003 di pasal 37, baik di ayat 1 untuk Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah, maupun ayat 2 untuk kurikulum Pendidikan Tinggi, TIDAK memuat secara khusus dan penyebutan secara eksplisit tentang pelajaran PANCASILA

Kemungkinan, nantinya ini akan menjadi alasan pembenar dari apa yang ada dalam PP 57/2021 ini. 

Namun, sebetulnya jika memang ada komitmen kuat tentang pentingnya pelajaran Pancasila, maka secara prinsip lex specialis dapat menggunakan UU No.12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi dalam Pasal 35 ayat 3 butir C, yang secara jelas menyebutkan kurikulum Pendidikan Tinggi WAJIB memuat mata kuliah Pancasila. 

Atau kalau kita mau merujuk UU No.20 tahun 2003, di BAB I Ketentuan Umum dalam Pasal 1 ayat 2 yang berbunyi :

"Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman".

*REVISI  UU No.20 Tahun 2003*

Dengan melihat peristiwa ini, agar tak berulang, memang sudah seharusnya UU No.20 Tahun 2003 di revisi, mengingat setelah 18 Tahun, tentu situasi dan kondisi ekonomi, sosial, politik, budaya dan sebagainya telah terjadi perubahan yang sangat besar. 

Mungkin saja saat lahirnya UU No.20 Tahun 2003 itu, masih dalam suasana eforia reformasi, yang harus bergerak cepat, sehingga baru sekarang menyadari ada hal sangat penting tertinggal.

*PENGUATAN  SEMANGAT KEBANGSAAN SEKNEG*

Terjadinya peristiwa kekeliruan berulang, kalau tidak mau dikatakan kesalahan yang telah dilakukan oleh lembaga penting negara sekelas Sekneg dalam beberapa peristiwa lahirnya regulasi.

Sebagai contoh, Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2015 itu mulai berlaku sejak diundangkan pada 23 Maret 2015. Lalu pada 8 April 2015, Jokowi menerbitkan Perpres No 42/2015 tentang pencabutan Perpres No 39/2015 tersebut.

Selanjutnya Perpres No 190/2014 tentang Unit Staf Kepresidenan yang diterbitkan tanggal 31 Desember 2014, Kemudian dalam waktu kurang dari dua bulan setelah diterbitkan, Presiden Jokowi merevisi lembaga baru itu dengan menerbitkan Perpres No 26/2015 tentang Kantor Staf Presiden, 24 Februari 2015.

Terjadinya pembuatan aturan yang harus direvisi dan bahkan harus dicabut,  karena  desakan publik, menjadikan kita bertanya ada apa dengan Sekneg ?

Padahal Sekneg sebagai lembaga Penting dalam pemerintahan, semua tindakan dan kebijakan yang dikeluarkan, mempertaruhkan wibawa Presiden dan Wibawa Negara.

Karena itu, menurut saya, penguatan komitmen kebangsaan personel di Sekneg, sangat penting dan mendesaknya seperti revisi UU No.20 Tahun 2003, dan merevisi PP No.57/2021 di atas.

Mungkin ini peluang terakhir merevisi sebuah PP atau Perpres di era Pemerintahan Jokowi yang tinggal tiga tahun lagi. Untuk sebuah tindakan perbaikan, tidak ada kata segan dan sungkan, yang dibutuhkan adalah tindakan perbaikan. 

Seperti dalam pepatah melayu *"Kalau Sesat di ujung Jalan, Mengapa Tidak kembali ke pangkal Jalan"*.
  
Penulis: Ketua LPM Universitas Moestopo (Beragama) Jakarta

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama