Terkesan Terkoordinasi Rapi, DjST Masuk-Keluar Indonesia
JAKARTA,ANEKAFAKTA.COM
Kian terkuak dapat begitu mulusnya buron Djoko Sugiarto Tjandra (DjST) masuk - keluar Indonesia, mengesankan bahwa ia memang telah difasilitasi oleh kerja-kerja yang terkoordinasi rapi.
Ketua Dewan Pembina Pusat Studi Komunikasi Kepolisian (PUSKOMPOL), Suryadi di Jakarta, Jumat (7/8/20) mengatakan, terlalu gegabah menyebut bahwa itu adalah inisiatif dan hasil kerja-kerja sendirian seorang pejabat.
"Apalagi, kalau sampai ada yang menggambarkan DjST itu licin bagai belut. Saat ini yang terbaik adalah memperbesar koreksi sekaligus pembenahan dan perbaikan ke dalam," kata penulis sejumlah buku tentang kepolisian itu.
DjST ditangkap di Malaysia melalui kerja sama Polisi Diraja Malaysia dengan Polri. DjST adalah terpidana dua tahun hak alih tagih utang (cessie) Bank Bali yang perkaranya sudah berkekuatan hukum tetap (inkrach) di tingkat Mahkamah Agung (MA).
Di tahun 2009 hukuman DjST belum sempat dieksekusi, karena lebih dahulu ia melarikan diri dari Tanah Air. Sejak itu dia bersatus buron dan masuk dalam daftar pencarian orang (DPO), bahkan 'red notice" jaringan interpol.
DjST diketahui selama 11 tahun buron pernah menjadi pemegang/ pemilik Paspor negara tetangga, Papua Nugini.
Antara Mei - Juni 2020 ia masuk dan keluar Indonesia melalui Jakarta - Pontianak. Ia sempat mengurus E-KTP di Kantor Kelurahan Grogol Selatan sebagai persyaratan untuk mendaftarkan peninjauan kembali (PK) perkara inkrach-nya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel).
Dalam mengurus PK, DjST didampingi tim penasihat hukum antara lain NK. Kini NK juga dipanggil oleh Polri untuk dimintai keterangan sebagai tersangka.
Belakangan terkuak, DjST selama masuk - keluar Indonesia berbekal Surat Jalan dengan penyebutan sebagai Konsultan, yang dikeluarkan/ditandatangani Brigjen Pol. PU, Koordinator Pengawas Pembantu Penyidik Pegawai Negeri Sipil, Badan Reserse Kriminal (Koorwas PPNS Bareskrim) Polri.
Kemudian, Kapolri mencopot PU dari jabatannya dan ditahan dengan status tersangka. Tak sampai di situ saja, Sekretaris Divisi Hubungan Internasional (Hubinter) Polri, Brigjen Pol NW juga dicopot dari jabatannya karena telah menyurati Imigrasi Kemenkumham bahwa DjST telah dihapus dari "red notice".
"Red notice" adalah permintaan untuk menemukan dan menahan sementara seseorang yang dianggap terlibat dalam kasus kriminal, namun statusnya sudah ditetapkan sebagai tersangka dan masuk dalam daftar pencarian orang/DPO.
NW diduga melanggar kode etik karena telah menerbitkan surat penyampaian masa berlaku "red notice" DjST. Kadiv Humas Polri Irjen Pol. R. Argo Yuwono menegaskan, NW karena tindakannya itu, juga akan diperiksa sebegai tersangka.
Atasan NW yaitu Kadiv Hubinter Polri, Irjen Pol. NB juga telah pula dicopot dari jabatannya. Ia diduga melanggar kode etik karena telah lalai mengawasi anggotanya.
Di luar Polri, jaksa P juga dicopot dari jabatannya oleh Kejaksaan Agung karena ketahuan telah sembilan kali bepergian ke Malasysia tanpa izin atasan.
NK diadukan oleh Boyamin Saiman, Ketua Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) kepada Komisi Kejaksaan. P diduga telah bertemu dengan DjST di Malaysia. Pengaduan MAKI dilampiri foto-foto P bersama DjST, selain juga foto bertiga dengan NK dan DjST.
Menurut Suryadi, sejak awal terungkapnya DjST dapat dengan mudah masuk keluar Indonesia, sudah patut diduga berkat dukungan mereka yang memahami betul seluk-beluk persoalan status buronnya DjST.
Apalagi, kata Suryadi, setelah terkuaknya peran Brigjen Pol. PU. "Betul yang menandatangani Surat Jalan untuk DjST itu adalah PU. Tapi, harus diingat di situ PU berada dalam suatu jabatan. Maka, pasti ada sebuah proses menuju ke penerbitan surat jalan tersebut," urai Suryadi
Tindakan Kapolri Idham Aziz sudah sangat tepat, dengan secepatnya memecat dan mentersangkakan PU. Kemudian, langkah serupa juga dilakukan terhadap NW.
Langkah yang diambil Kapolri Idham Aziz, untuk sementara ini sudah cukup untuk menegaskan bahwa tindakan PU dan NW bukan sekadar tindakan perorangan atau tindakan oknum yang lepas dari jabatan formalnya.
Kata Suryadi, barangkali jauh lebih tepat dikatakan, dapat terjadinya tindakan PU dan NW akibat bolong-bolongnya sistem pengawasan administrasi di Koorwas PPNS Bareskrim dan Divhubinter.
Ke depan, lanjutnya, perlu digalakkan "sistem pengawasan dari atasan, samping, dan bawah".
Di suatu badan, divisi, setaraf biro dalam sebuah sistem institusi, dapat dipastikan seseorang tidak bekerja sendiri. Di dalamnya, selain ada atasan, juga ada sejawat sejajar, dan staf bawahan.
Di alur ini lah harus dibangun kontrol efektif. Pertama, secara tradisional biasanya pembuatan surat dinas pasti sudah lebih dahulu melalui beberapa meja. Kedua, bila ada meja yang "dilewati" begitu saja, mereka yang berada pada posisi sejajar tidak usah segan-segan untuk langsung atau melalui atasan secepatnya menegur yang bersangkutan.
Ketiga, harus ditata sedemikian rupa agar kertas kop dinas, cap jabatan, "lock" komputer (PC) tidak hanya dipegang/diketahui satu orang tapi oleh setidaknya tiga orang.
"Itu dimaksudkan agar mampu dan berani saling mengingatkan bila ada keganjilan atau ketidaklaziman dalam pelaksanaan sistem administrasi yang sudah dibakukan. Keberadaan para staf adalah untuk meminimalisasi penyimpangan seperti yang terjadi pada kasus penerbitan Surat Jalan DjST oleh PU," urai Suryadi.
Oleh sebab itu, lanjutnya, pimpinan sebuah institusi sebesar Polri harus benar-benar bisa:
Pertama, ia memastikan langsung atau melalui staf pimpinan mengetahui bahwa sistem administrasi termasuk pemantauannya telah berjalan efektif melalui sistem yang tersambung otomatis (sistem terpasang jaringan "online").
Kedua, pimpinan memastikan disipilin ketat ditegakkan sampai ke tingkat pelaksana bukan untuk melayani kepentingan menyenangkan orang perorang, tapi demi melayani dan keadilan bagi masyarakat.
Ketiga, pimpinan harus berani meyakinkan kepada semua personel di dalam institusinya mampu bertindak elegan bahkan egaliter dengan tetap etis berani bertindak mulai dari sekadar saling mengingatkan sampai kepada menegur jika terjadi ketidaklaziman.
"Disiplin itu, jangan lantas disimpangkan menjadi berarti sama sekali tidak berani mengingatkan atau menegur. Disiplin ketat itu demi memberikan yang terbaik bagi rakyat, bukan diam seribu basa demi melindungi kesalahan seseorang, siapa pun orang dan level jabatannya," kata Suryadi.
Jika bicara pendemokrasian, maka dengan langkah-langkah tadi sudah tercermin adanya pendemokrasian ke dalam, khususnya pada sistem administrasi. Cirinya, kata Suryadi, terbuka dan terawasi efektif sebagaimana layaknya sebuah sistem bekerja.
Sebab, bagaimanapun, di mata publik tak terhindarkan bahwa kasus penyimpangan sejenis dengan penerbitan Surat Jalan oleh DjST, jelas telah mencoreng nama institusi.
Dengan mulai pula terkuaknya kasus jaksa NK, jangan salahkan jika publik lantas menduga-duga ternyata sebuah koordinasi rapi antarpejabat antarinstitusi telah berlangsung hanya demi seorang buron DjST. Meski, kata Suryadi, tentu saja, hal ini harus dibuktikan lebih konkret lagi oleh institusi yang bersangkutan agar tidak terbangun dugaan-dugaan yang kian liar.
Mengakhiri pernyataannya, untuk meminimalisasi terjadinya penyelewengan dalam sistem administrasi, Suryadi menegaskan, demokrasi harus benar-benar ditegakkan terutama untuk penerbitan suatu surat. Klasifikasinya harus benar-benar diatur namun birokratis sehingga tidak lantas menghambat produktivitas kerja.
Termasuk dalam hal tersebut, lanjutnya, harus pula dipertegas levelitas dan aturan main kontrol sehingga dapat meminimalisasi kesalahan atau penyelewengan di masa-masa mendatang.
"Jadi, demokrasi itu bukan cuma soal jaminan kebebasan 'bengak-bengok' di jalan raya. Dalam sistem administrasi pun demokrasi itu berjalan. Kebebasan saja itu, bukan demokrasi. Tanpa tertib hukum itu jelas anarkis," tegas Suryadi
Red/anekafakta.com
Ket Foto: Suryadi

إرسال تعليق