Undang-Undang Perampasan Aset: Senjata yang Masih Menunggu Aksi Nyata




Undang-Undang Perampasan Aset: Senjata yang Masih Menunggu Aksi Nyata

Oleh: Diah Kumalasari
Mahasiswa Magister Hukum Universitas Indonesia


Pernyataan Presiden Prabowo dalam berbagai kesempatan menyatakan bahwa korupsi di Indonesia seperti penyakit kronis kanker stadium 4, pernyataan ini bukan sekedar retorika belaka, tetapi pada kenyataannya penyakit ini telah menular dari puncak kekuasaan hingga birokrasi paling bawah. Penyakit ini telah menjalar ke seluruh bagian tubuh dan sendi bangsa dan tidak akan sembuh jika hukum sebagai obatnya tidak ditegakkan.
Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset (RUU PA) telah diusulkan menjadi prioritas legislasi sejak tahun 2012 melalui draft RUU Perampasan Aset kemudian diajukan lagi oleh pemerintah ke DPR pada tanggal 02 Februari 2015 namun tidak ada kelanjutannya. Pada tahun 2023 RUU Perampasan Aset masuk kembali dalam program legislasi nasional namun tidak ada bahasan yang nyata. Tahun ini, RUU Perampasan Aset telah menjadi Program Legislasi Nasional Prioritas 2025-2026, tetapi hingga kini pembahasannya tidak kunjung dimulai. Pemerintah dan DPR seharusnya sadar bahwa setiap hari, setiap bulan penundaan artinya uang rakyat akan hilang dan koruptor mempunyai waktu untuk menyembunyikan hartanya. Dari polemik ini timbul pertanyaan di benak publik, mengapa hingga kini setelah lebih dari satu dekade RUU Perampasan Aset belum disahkan? Apa yang menjadi kendala? Jika akar penyakit yang sudah di depan mata tidak segera dipotong maka apa makna reformasi hukum yang dibicarakan pemerintah selama ini?

*Korupsi Terstruktur CPO: Ujian bagi Rule of Law di Indonesia*
Belum lama ini Indonesia kembali diramaikan dengan berita tentang kasus korupsi dengan nilai fantastis di sektor minyak sawit mentah (CPO), triliunan rupiah uang rakyat menguap melalui praktik korupsi terstruktur melalui permainan perizinan dan kolusi yang dilakukan oleh pejabat publik, birokrat dan pengusaha besar oligarki. Kasus ini menyeret perusahaan besar seperti Wilmar Group, Permata Hijau dan Musim Mas, serta yang sudah tidak mengejutkan lagi pejabat publik yaitu tiga orang hakim yang terlibat dalam kasus suap dan gratifikasi. Skandal ini menunjukkan kekuasaan ekonomi dan politik berkolusi untuk kepentingan pribadi dengan manipulasi hukum. Semakin hari kasus korupsi di Indonesia dengan nilai triliunan rupiah telah menjadi hal biasa, kepercayaan publik terhadap aparat penegak hukum yang telibat menjadikan konsep negara hukum diuji, apakah hukum benar-benar berlaku bagi semua orang, ataukah hanya sebagai alat bagi penguasa? Kasus ini dipandang bukan lagi dari nilai kerugian negara yang fantastis namun memperlihatkan lemahnya Rule of Law di Indonesia, matinya hati nurani hukum telah menunjukkan kegagalan birokrasi penegakan hukum tetapi juga menciptakan krisis keyakinan tentang konsep negara hukum sebagai pondasi bangsa. Kegagalan lembaga peradilan dalam menjaga integritas sebagai tembok terakhir keadilan ini berakibat pada hilangnya kepercayaan publik, bagaimana publik percaya jika hakim sendiri dapat dibeli oleh pihak yang sedang diadili.

*Politik dan Pemberantasan Korupsi*
Politik di balik pemberantasan korupsi di Indonesia merupakan salah satu hambatan terbesar yang nyata. Dalam sistem multipartai tawar menawar untuk kepentingan kekuasaan sering terjadi. Dukungan politik terhadap koalisi dapat menjadi alat kekebalan hukum, sedangkan korupsi bagi oposisi dapat menjadi tawar menaawar politik dan penyandraan politik. Kondisi ini memperlihatkan bahwa korupsi bukan hanya tindak pidana tetapi juga fenomena politik yang sudah terstruktur. 
Pernyataan salah satu anggota DPR yang menyatakan bahwa jika pemerintah ingin mengesahkan UU Perampasan Aset harus melobi ketua partai politik terlebih dahulu bukan sekedar komentar tentang taktik politik, secara implisit ia mengungkapkan struktur kekuasaan yang menggeser legitimasi kekuasaan rakyat ke partai. Jika legislasi tidak merepresentasikan kepentingan rakyat tetapi realitasnya pengambilan keputusan berdasarkan restu ketua partai tentunya hal ini menciderai kedaulatan rakyat, keputusan diambil berdasarkan transaksi elite partai bukan kepentingan rakyat.
Adriann Bedner (2007) menyatakan, Prinsip rule of law atau negara hukum kini telah diputarbalikkan menjadi rule by law, dalam sistem ini hukum dijadikan alat kekuasaan politik bukan lagi sebagai pembatas kekuasaan penguasa. Peraturan hukum dapat disahkan secara singkat jika ada kepentingan politik tertentu namun hukum pidana dapat saja digunakan untuk menekan lawan politik yang bersebrangan. Hukum tunduk pada kepentingan elite dan oligarki. Realitas inilah yang yang menjelaskan mengapa Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset masih terhenti di Parlemen. 

*Integritas Aparat Penegak Hukum*
Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset menimbulkan dua pandangan yang berbeda, disatu sisi UU ini dianggap sebagai regulasi alat yang sangat baik bagi pemberantasan korupsi di Indonesia, karena praktiknya nanti perampasan aset hasil korupsi dapat dilaksanakan tanpa menunggu vonis pidana. Namun, disisi lain ada kekhawatiran yang mempertanyakan apakah aparat penegak hukum di negara kita sudah siap atau justru UU ini dijadikan sebagai alat peras atau bahkan alat tawar menawar politik.
Jika dijalankan dengan sistem hukum yang bersih Undang-Undang Perampasan Aset adalah alat untuk menegakkan Rule of Law di Indonesia, namun jika aparat penegak hukum masih terlibat dalam praktik korupsi Undang-Undang hanya dijadikan kedok penguasa untuk melegitimasi tindakannya demi kepentingan pribadi atau golongannya.
Oleh karena itu, dasar moral dan etika harus dipegang oleh penegak hukum. Kuncinya adalah integritas, tanpa integritas penegakan hukum hanya akan menjadi alat penindasan semata karena hukum akan kehilangan moralnya. Sebaik apapun regulasi dan seideal apapun undang-undang tanpa integritas aparat penegak hukum maka regulasi tersebut hanya akan sia-sia.

*Ujian Besar Bagi Pemerintah*
Terhentinya pembahasan RUU Perampasan Aset merupakan bukti nyata kegagalan pemerintah. Setiap tahun negara harus kehilangan uang rakyat senilai triliunan rupiah karena belum ada regulasi yang legal untuk merampas hasil korupsi yang pelakunya telah meninggal, belum mendapat vonis atau melarikan diri. Pemerintah menyatakan masih mengkaji secara mendalam mengenai sistem "non-conviction based asset forfeiture" atau proses hukum yang dapat menyita aset kejahatan tanpa memerlukan putusan pidana dari pemilik aset. Sedangkan DPR menyatakan bahwa mereka masih menunggu usulan draft dari pemerintah. Saling lempar tanggung jawab antara Pemerintah dan DPR mengindikasikan apakah hanya masalah teknis yang menjadi penghambat ataukah ada kepentingan lain?
Pemberantasan korupsi bukan hanya sekedar penangkapan dan memamerkan jumlah aset yang disita tetapi soal merubah sistem yang benar-benar tidak meberikan toleransi terhadap korupsi. Jika pemerintah bersungguh-sungguh mereformasi hukum, Undang-Undang Perampasan Aset adalah salah satu alat yang tepat untuk memulihkan kepercayaan dan hak publik bukan hanya menjadi simbol tanpa substansi atau janji reformasi hukum belaka.
Setiap hari setiap bulan setiap tahun bahkan setiap dekade Undang-Undang Perampasan Aset ditunda, uang rakyat akan hilang dan koruptor akan bebas menyembunyikan hasil kejahatannya. Rakyat kini melihat dan rakyat menanti.

Post a Comment

أحدث أقدم