Anang Iskandar: Tarik Rumusan Pasal 609 KUHP Karena Cacat Hukum Sejak Lahir
ANEKAFAKTA.COM,Jakarta
Tarik rumusan Pasal 609 UU no 1 tahun 2023 tentang KUHP karena multitafsir, rumusan pasal 609 tersebut cacat sejak lahir karena tidak menggunakan sumber hukum yang relevan, proses perumusannya berdasarkan nalar hukum pidana, dan tidak dibuat berdasarkan hukum narkotika. Hukum narkotika, unsurnya pidananya bukan perbuatan seperti rumusan pidana tetapi kepemilikan dan tujuan kepemilikannya. Secara teknis rumusan pasal 609 KUHP baru tersebut ambigu, implementasinya dapat digunakan untuk menjerat pelaku peredaran gelap narkotika dan pelaku penyalahgunaan narkotika menggingat kedua kejahatan tersebut unsurnya sama yaitu memiliki, menguasai dan menyimpan atau menyediakan
Rumusan lengkapnya sebagai berikut :
Pasal 609 (1) Setiap orang yang tanpa hak memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan :
a. Narkotika Golongan I bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit kategori IV dan paling banyak kategori VI;
b.Narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit kategori IV dan paling banyak kategori VI; dan
c. Narkotika Golongan III, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tqjuh) tahun dan pidana denda paling sedikit kategori IV dan paling banyak kategori VI.
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dirnaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap :
a. Narkotika Golongan I bukan tanaman yang beratnya melebihi 5 (lima) gram dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit kategori V dan paling banyak kategori VI;
b. Narkotika Golongan II yang beratnya melebihi 5 (lima) gram dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit kategori V dan paling banyak kategori VI; dan c. Narkotika Golongan III yang beratnya melebihi 5 (lima) gram dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit kategori V dan paling banyak kategori VI. Sedangkan penjelasannya pasal 609 : Dinyatakan cukup jelas
Rumusan hukum ala pidana tersebut menjadikan pasal 609 multitafsir, bisa digunakan oleh penegak hukum untuk menuntut, mendakwa dan mengadili penyalah guna sebagai pengedar serta menghukum penyalah guna secara pidana, paling ringan penyalah guna akan dihukum denda.
Hukuman denda bagi penyalah guna narkotika adalah kemajuan dari sisi humanis tetapi tidak menyelesaikan masalah sesungguhnya.
Menyelesaikan masalah lapas yes tetapi tidak menyelesaikan masalah kesehatan penyalah guna narkotika sebagai penderita sakit adiksi dan hukuman denda justru melanggengkan deman and supply bisnis peredaran gelap narkotika karena penyalah guna sebagai deman tidak disembuhkan/direhabilitasi.
Penyalah guna narkotika adalah Kriminal sekaligus penderita sakit kecanduan narkotika, model hukuman pidana denda mengabaikan hukuman rehabilitasi menyebabkan proses pengadilan penyalah guna akan menghasilkan generasi sakit adiksi berkelanjutan yang sangat merugikan masa depan generasi muda penderita sakit adiksi.
Penyalah guna dipidana merugikan kita semua, sedangkan yang diuntungkan secara tidak langsung adalah para pembisnis narkotika ilegal karena demannya tidak berkurang sebaliknya justru bertambah besar.
Sumber hukum narkotika
Sumber hukum narkotika adalah konvensi internasional, berbeda dengan sumber hukum pidana. Kejahatan narkotika dirumuskan sebagai kepemilikan dan tujuan kepemilikan narkotika secara tidak sah atau melanggar hukum. Sedangkan sumber hukum pidana berasal dari KUHP nasional, KUHP nasional berasal dari Belanda, Prancis dan jaman Romawi yang dirumuskan sebagai perbuaran melanggar hukum.
Penegakan hukum narkotika terhadap penyalah guna (korban kejahatan) bersifat rehabilitatif dan hanya terhadap pengedar (pelaku) penegakan hukumnya bersifat represif, sedangkan penjatuhan hukumannya berupa rehabilitasi sebagai hukuman pidana alternatif
Proses penegakan pidana terhadap pelaku pejahatan konvensional bersifat represif dan terhadap korban kejahatannya justru yang harus dilindungi.
Perkara penyalah guna narkotika seperti yang dialami oleh Ammar Zoni, Rhido Rhoma, Farisz RM dan ribuan para penyalah guna yang ada dipenjara adalah contoh perkara penyalah guna yang diadili sebagai pengedar, didakwa sebagai pengedar dan dijatuhi hukuman pidana. Mereka berdasarkan UU narkotika seharusnya diadili secara rehabilitatif sebagai penyalah guna dan dijatuhi hukuman alternatif pidana berupa menjalani rehabilitasi secara paksa atau wajib.
Penyalah guna dipenjara berdampak buruk
Terpidana penyalah guna narkotika dipenjara berdampak buruk bagi penyalah guna yang nota bene penderita sakit adiksi, mereka rentan relapse didalam penjara, mereka juga rentan dimanfaatkan oleh fihak fihak tertentu untuk menjadi penjual narkotika di dalam penjara, mereka rentan mengalami sakau bila putus obat/narkotika dan melakukan perbuatan melanggar hukum selama dipenjara.
Negara akan mengalami kesulitan dalam membangun kesehatan masyarakat untuk mewujudkan cita indonesia emas 2045 kalau penyalah guna sebagai penderita sakit adiksi tidak disembuhkan, justru dipenjara atau didenda mereka dipastika akan relapse, relapse dan relapse.
Itulah yang dialami oleh para penyalah guna narkotika, korban kejahatan peredaran gelap narkotika yang dikriminalkan oleh UU sebagai penyalah guna narkotika. Mereka keluar masuk penjara hingga 4, 5 bahkan ada yang 6 kali selama perjalanan hidupnya
Negara harus mengambil langkah agar penyalah guna yang nota bene ketergantungan narkotika kemudian membeli narkotika yang tujuannya untuk dikonsumsi dalam proses penegakan hukumnya tidak dipidana tapi direhab atas putusan atau penetapan hakim atau tidak perlu ditangkap, didakwa dan diadili karena ada cara non pidana yaitu penyalah guna diwajibkan melakukan rehabilitasi secara sukarela (pasal 55 UU no 35 tahun 2009)
Pemerintah telah menyiapkan tempat rehabilitasi penyalah guna narkotika di rumah sakit atau puskesmas atau lembaga rehabilitasi milik pemerintah yang sekarang ini berjumlah sekitar 1178 lokasi. Tidak bisa hukuman rehabilitasi serta merta diganti hukuman penjara dan/atau hukuman denda dengan alasan tidak ada tempat rehabilitasi.**
إرسال تعليق