NASKAH TUANKU IMAM BONJOL MENUJU MEMORY OF THE WORLD

NASKAH TUANKU IMAM BONJOL  MENUJU MEMORY OF THE WORLD


Oleh: Agus Sutoyo

Jalan menuju pengakuan dunia semakin terbuka lebar. Pasalnya, setahun berselang pembahasan yang mengangkat soal kekayaan warisan budaya nusantara berupa naskah kuno atau manuskrip nusantara masih berlanjut sampai tahun ini. Sejarah telah mencatat bahwa Perpustakaan Nasional dan Arsip Nasional telah memperjuangkan koleksi manuskripnya menjadi warisan dunia memory of the world. Tercatat, sejak 2003 hingga 2017, sebanyak delapan warisan dokumenter Indonesia ditetapkan sebagai Memori Ingatan Dunia yakni Arsip VOC (2003), I La Galigo (2011), Babad Diponegoro (2013), Negarakertagama (2013), Arsip Konferensi Asia-Afrika (2015), Cerita Rakyat Panji (2017), Arsip Rekonstruksi Candi Borobudur (2017), dan Arsip Tsunami (2017).
Dari 12.386 naskah kuno yang tersimpan di layanan Perpusnas masih banyak yang belum dipublikasikan, karena ribuan koleksi ini bukan barang yang mudah untuk diterjemahkan, dialihbahasakan, dan juga disadur sebagai informasi yang kekinian, padahal informasi yang terkandung didalam naskah kuno ini sangat bermanfaat buat masyarakat, terutama sejarah telah bercerita bahwa nenek moyang bangsa Indonesia adalah orang yang cerdas, kita bangsa yang hebat sejak dahulu kala, karena literasi sejatinya sudah dimulai sejak berabad-abad lampau di Indonesia.
Mengingat naskah-naskah itu, manuskrip nusantara yang sangat langka sebagai warisan dokumenter bangsa Indonesia yang perlu dilestarikan, menjadi sangat penting untuk dibentuk sebuah tim yang menangani, melestarikan, dan mempublikasikannya  ke dunia, dan menjadi ingatan dunia karena warisan budaya bangsa Indonesia itu juga merupakan warisan dunia. Perpustakaan Nasional telah membentuk tim yang menangani ingatan kolektif nasional sebagai wadah yang menjembatani warisan dokumenter ini diakui dunia melalui Memory of the World Unesco. Maka lahirlah Ingatan Kolektif Nasional yang selanjutnya disebut IKON yang merupakan program pencatatan warisan dokumenter berbagai karya budaya, kejadian penting, pemikiran, penemuan baru, dan segala bentuk peninggalan yang bernilai bagi peradaban bangsa Indonesia. 
IKON ini merupakan program  yang dibentuk untuk memayungi kegiatan-kegiatan dalam rangka mengkoordinasikan hal-hal yang terkait dengan keberadaan warisan dokumenter budaya yang tersebar diseluruh wilayah Indonesia.  Warisan dokumenter budaya ini perlu diinventarisasi dan dikomunikasikan kepada lembaga-lembaga terkait serta masyarakat luas. Yang dimaksud dengan warisan dokumenter adalah rekaman informasi yang dibuat untuk tujuan intelektual yang memuat simbol, suara dan/atau gambar, yang dapat dipindahkan, diperbaiki, dan direproduksi.  
Warisan Dokumenter yang mengacu pada panduan MOW, memiliki ciri-ciri sebagai berikut: dapat dipindahkan, memuat simbol/ kode, suara dan / atau gambar, dapat diperbaiki, dan dapat direproduksi. Berdasarkan ciri-ciri di atas, maka warisan dokumenter dapat didefinisikan sebagai rekaman informasi yang dibuat untuk tujuan intelektual yang dapat dipindahkan, memuat simbol, suara dan atau gambar, dapat diperbaiki dan direproduksi. Warisan dokumenter dapat berupa satu atau koleksi dokumen.  Produksi massal, situs alam dan dokumen yang tidak dapat direproduksi (asli) seperti lukisan, tidak termasuk dalam kategori warisan dokumenter.
Menurut pakar pendidikan Prof. Wardiman Djojonegoro yang mendorong agar naskah kuno di Indonesia dapat tercatat di dalam Memori Ingatan Dunia. Indonesia memiliki ribuan naskah kuno nusantara. Namun, saat ini tercatat baru delapan warisan dokumenter yang masuk MoW yang ditetapkan oleh Unesco. Oleh karena itu, Prof. Wardiman mendorong Perpustakaan Nasional untuk mendukung usulan naskah kuno Nusantara tersebut ke Unesco. Penetapan naskah kuno nusantara sebagai MoW, merupakan pengakuan dari dunia bahwa karya intelektual nenek moyang bangsa, layak untuk dikenang. 

Mantan Mendikbud itu menyebut, Jerman sudah memiliki 80 warisan dokumenter yang ditetapkan sebagai MoW.
Salah satu kriteria Unesco adalah menghormati, mengenang tentang kepandaian daripada nenek moyang kita di seluruh dunia. Karena MoW itu seluruh dunia. Jadi, kita harus mengajukan naskah kita untuk bisa diterima sebagai warisan dunia, pengakuan dari pada lokal jenius daripada nenek moyang kita. 

Usulan naskah kuno nusantara untuk masuk MoW membuat sejarah bangsa lebih dikenal masyarakat, khususnya generasi muda. "Karena di dalam syarat Unesco adalah setiap naskah itu harus open access, harus terbuka, kalau bisa digitalisasi. 

Sehingga orang jauh di Amerika, jauh di Eropa, jauh di Jepang, bisa membaca," katanya. 

Selain itu, naskah kuno yang diusulkan harus tersimpan dengan baik dan naskahnya masih asli. Hal itu menjadi kesulitan di Indonesia karena iklimnya tropis dan faktor bencana alam sehingga naskah terancam punah. Sehingga untuk Indonesia, syarat daripada Unesco itu sangat berat karena kita harus menjaga naskah-naskah yang kita usulkan itu agar betul-betul terawat.

Pustakawan ahli utama Perpusnas, Sri Sumekar, dalam rapat dengan sekretariat IKON menyatakan sebelum masuk MoW, warisan dokumenter bangsa harus diakui terlebih dulu secara nasional atau dalam IKON. IKON merupakan program yang dikoordinir oleh Perpusnas dalam rangka pelaksanaan inventarisasi, pencatatan, pendataan, dan pendaftaran/registrasi warisan dokumenter budaya bangsa berupa naskah kuno yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia sebagai karya budaya bangsa yang harus diingat oleh seluruh bangsa Indonesia. 

Perpusnas ditunjuk sebagai koordinator setelah pencanangan IKON pada 2012 di Manado yang digagas oleh tujuh kementerian/lembaga. 
Mantan Sekretaris Utama Perpusnas tersebut menyebut, naskah kuno yang sudah lulus uji akan mendapat register IKON dan selanjutnya dapat diusulkan untuk nominasi MoW. Naskah kuno yang diusulkan, sesuai dengan Undang-undang Nomor 43 Tahun 2007, merupakan dokumen tertulis yang tidak dicetak atau tidak diperbanyak dengan cara lain, baik yang berada di dalam negeri maupun luar negeri yang berumur sekurangnya 50 tahun. Serta mempunyai nilai penting bagi kebudayaan nasional, sejarah, dan ilmu pengetahuan. 

Dengan adanya IKON, diharapkan dapat mengajarkan pelestarian warisan dokumenter bangsa Indonesia dan penyelamatan aset dokumen nasional dari kepunahan. Selain dilestarikan, warisan bangsa ini dialihmediakan dalam bentuk digital, sehingga masyarakat dapat mengaksesnya secara mudah. 

Tuanku Imam Bonjol

Sejak 27 April 1983, Naskah Tuanku Imam Bonjol telah diserahkan kepada Pemerintah Provinsi Sumatera Barat. Tujuan penyerahan ini dimaksudkan agar naskah Tuanku Imam Bonjol lebih terpelihara dengan baik. (Berita Acara  Serah Terima terlampir). Naskah Tuanku Imam Bonjol dapat diakses secara manual di gedung perpustakaan Dinas Perpustakaan Provinsi Sumatera Barat. Naskah ini sudah didigitalkan secara baik dengan menggunakan standar pendigitalan manuskrip.
Pada saat ini, naskah tersebut menjadi salah satu koleksi Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Provinsi Sumatera Barat. Teks Naskah Tuanku Imam Bonjol tersimpan dengan nomor panggil NKA 30 ditulis di atas Kertas Eropa dengan cap kertas: Pro Patria Eiusque Libertate, berukuran 30 x 18,5 cm, setebal 360 halaman, setiap halaman terdiri dari 17 baris, dijilid dengan karton tebal bersampul dilapisi kain linen. Naskah ditulis dengan menggunakan tinta hitam. Naskah dalam keadaan kurang baik, tulisan sebagian tidak terbaca karena korosi tinta dan naskah ini sudah dilaminasi. Naskah ditulis dalam bahasa Melayu dan beraksara Arab (Jawi). Teks naskah ini berisi ringkasan sejarah Perang Padri dan Sumatera Barat abad 19, teks naskah terdiri atas tiga bagian, yakni bagian pertama (halaman 1-190) merupakan memoar Tuanku Imam Bonjol; bagian kedua (halaman 191-324) adalah memoar putranya; dan, bagian ketiga (halaman 325–332) berisi notulen dua rapat yang diadakan di dataran tinggi Minangkabau pada 1865 dan 1875.
Naskah Tuanku Imam Bonjol (TIB) adalah naskah tunggal (codex unicus). 

Naskah ini dituliskan oleh putra Tuanku Imam Bonjol (1772 – 1864) yang bernama Naali Sutan Caniago selama ia menemani pengasingan Tuanku Imam Bonjol di Manado. 

Secara umum, naskah ini berisi ringkasan sejarah Perang Padri di Sumatera Barat abad ke-19. Teks dalam naskah tersebut terdiri atas tiga bagian:  Pertama, tentang memoar Tuanku Imam Bonjol. Kedua, memoar Naali Sutan Caniago sendiri serta notulen dua rapat yang diadakan di dataran tinggi Minangkabau pada tahun 1865 dan 1875.
Pesan utama dari naskah TIB ini adalah kesadaran Tuanku Imam Bonjol bahwa egalitarianisme dan perdamaian harus dikedepankan daripada peperangan. Bagi masyarakat Sumatera Barat atau Minangkabau, Imam Bonjol diklaim sebagai pemimpin yang reformis  dalam mempertahankan tanahnya dari penjajah. 

Perannya di Sumatera Barat diajarkan di sekolah-sekolah sehingga setiap warga negara di daerah dan juga di Indonesia mengakuinya sebagai pahlawan nasional.

Disebut sebagai Naskah Imam Bonjol karena secara filologis naskah ini berisikan memoar Tuanku Imam Bonjol yang terbentuk dari ingatan pribadinya. 

Dalam filologis teks orisinil ini bersifat abstrak dan hanya ada dalam ingatan pengarang, setelah  dituangkan dalam bentuk tulisan barulah ia menjadi sebuah naskah yang bersifat kongkrit. Di dalam naskahnya ini, terdapat political leadership Imam Bonjol karena sarat dengan gambaran mengenai keteladanan dalam aspek kepemimpinan politik tokoh-tokoh agama dan tokoh-tokoh adat yang memainkan peran politiknya pada abad ke-19 terhadap isu-isu kolonialisme, perdagangan otoritas kepemimpinan lokal, dan penggambaran negosiasi-negosiasi yang dimainkan di antara beberapa pihak yang bertikai. 

Menariknya dari cerita dalam naskah Tuanku Imam Bonjol ini adalah bagaimana pada saat jamannya itu, minangkabau sudah muncul sebagai respons literasi yang ada pada tulisannya, yaitu Minangkabau national awakening and the challenge of globalisme. 

Dimana naskah Tuanku Imam Bonjol dalam narasi perjuangan Tuanku Imam Bonjol dengan gerakan Paderinya telah membangun spirit nasionalisme masyarakat Minang dengan membangun kesadaran anti kolonial yang secara bersamaan berkembang di seluruh dunia pada kurun abad ke-19 hingga awal abad ke-20. 

Dalam sejumlah episodenya terlihat bahwa upaya membangun kesadaran dan kebangggaan atas identitas nasional mulai terbentuk dengan jaringan pergerakannya yang meluas di berbagai wilayah di Indonesia pada zaman pra kemerdekaan. Wujud perjuangannya dapat dianggap sebagai respon dari perubahan politik global yang terjadi pada masa itu.
Selain itu bisa dikatakan didalam naskah ini ada respect for religion as part of the wider moral order of society. Naskah Tuanku Imam Bonjol menjelaskan peran dan sosok ulama sebagai pengawal moral masyarakat guna melahirkan karakter yang kuat dan toleran. Naskah ini juga memaparkan fungsi ulama dalam menjaga kehormatan Agama Islam yang dikembangkan di Minangkabau pada kurun abad ke-19, dengan upaya-upaya mereka mencoba memediasi praktek-praktek penyimpangan dalam beragama dan menawarkan mufakat dengan pemimpin adat demi menegakkan kemurnian Agama. 

Dengan demikian, naskah ini merupakan dokumentasi penting dalam melihat sejarah perjalanan negosiasi antara agama di satu pihak dengan adat di pihak lain sehingga membentuk karakter masyarakat yang moderat. 

Bahkan disebutkan juga terjalin hubungan dengan organisasi keagamaan Timur Tengah dan Turki Usmani. Gerakan Paderi dapat diangap sebuah gerakan puritanisme Islam di wilayah Asia Tenggara. Hubungan gerakan ini dengan gerakan yang ada di Timur Tengah dengan pusat kekuasaan Islam ketika itu, Turki Usmani terlihat dari kesamaan paham dan aliran dan trend pergerakan pembaharuan dan pemurnian di hampir seluruh kawasan Islam, baik di Timur Tengah, Asia Selatan, Asia Tengah hingga ke Asia Tenggara. Namun puritanisme Islam yang dikembangkan di wilayah Minangkabau tidak bertujuan membumihanguskan paham lain melainkan untuk mencari bentuk moderasi dari beberapa kecenderungan keagamaan yang berkembang di masyarakat sebagaimana dijelaskan di dalam naskah ini.
Naskah Tuanku Imam Bonjol juga mengungkap pola-pola kepemimpinan lokal yang turut berperan sebagai bagian dari gerakan perbaikan moral serta menjelaskan fungsi dan kedudukannya dalam mengatasi problem sosial. Dengan demikian naskah ini menjelaskan aspek kekuatan kepemimpinan ulama lokal dalam memobilisasi masa dan menanamkan pengaruhnya untuk melawan kolonial. Tentu masih banyak lagi kajian yang perlu digali dan diinformasikan ke masyarakat. 

Kerjasama yang intens pustakawan dan filolog dalam mengungkapkan nilai-nilai sejarah yang tertuang didalam naskah ini harus terus dikumandangkan bahkan diviralkan, karena siapa lagi yang bisa menghargai nilai kekuatan memori dokumenter warisan nenek moyang bangsa kalau bukan kita sendiri sebagai anak cucu bangsa Indonesia. Semoga harapan ini sangatlah tepat jika naskah Tuanku Imam Bonjol dapat jalan yang mulus menuju Unesco dan mendapat pengakuan dunia, predikat memory of the world bukan sekedar mengejar sertifikat tapi bagaimana naskah kuno ini menjadi jembatan nasionalisme masyarakat Indonesia yang belajar dari masa lalu untuk menatap masa depan. Salam Literasi.

Kiki.H/Red
 
Agus Sutoyo, Kepala Pusat Jasa Informasi Perpustakaan dan Pengelolaan Naskah Nusantara, Perpustakaan Nasional RI

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama